Remaja Islam
Diposting oleh
Unknown
| Sabtu, 17 November 2012 at 22.13
0
komentar
Labels :
agama
Mereka ada dijalan....
Mentari beranjak ke arah barat, sholat ashar
kutunaikan sudah. Kuambil segelas air dari dispenser yang ada di ruang makan.
Kulihat jam di dinding, tepat setengah empat. Tak lama setelah gelas kutaruh
kembali ke meja makan terdengar suara dari luar. “Jo! Joan! Main bola yuk!”.
Dengan sedikit berlari aku menuju pintu depan rumah. Ah, teman-teman kampung.
“Tunggu sebentar, aku ganti sarung dulu.”, jawabku.
Tak lebih dari
semenit aku keluar dengan seragam kebesaranku, kaos Persebaya Surabaya dan
celana training warna pink. Perduli amat, tinggal ini yang ada di lemari
pakaianku. Maklum, belum sempat nyuci baju. Kukeluarkan sepeda kesayanganku,
berpamitan dengan Ibu yang sedang masak di dapur dan plas…
Hanya kurang dari lima menit, kami sudah sampai di
kompleks kampus B Unair, tempat kuliah kakakku. Memang, kompleks ini menjadi
tempat favorit, kalau tidak bisa dikatakan sebagai satu-satunya tempat, bagi
kami melewatkan hampir tiap sore dengan bermain bola.
Satu-persatu lapangan kami susuri. Parkiran fakultas
ekonomi sudah ditempati, hukum sudah, psikologi sudah, sastra sudah, fisip
sudah, rektorat sudah. Nah ini dia, lapangan parkir sebelah Masjid An-Nur,
masjid kampus, masih kosong. “Di sini saja ya.”, Diaz coba menawarkan pada
kami.
Tak lama kemudian, berbekal beberapa sandal dan sepeda
yang diberdirikan terbalik, sebuah lapangan bola dadakan tercipta sudah. Lima
orang lawan lima orang. Untuk kali ini aku kebagian jatah sebagai kiper.
Padahal ingin sekali hari ini aku menjadi penyerang, sudah seminggu ini aku
tidak mencetak gol sama sekali. Tapi apa boleh buat.
Sebuah tendangan keras lurus mengarah ke gawangku.
“Plak!”, suara keras bola plastik berbenturan dengan telapak tanganku. Bola
mampu kutepis ke samping kiri gawang. “Nggak gol ye…, tendangan cemen”, ejekku.
Seketika itu pula Amad, sang penendang bola, mendatangiku dan menjitak kepalaku
sambil berkata, “Ngece…”. Kami pun tertawa.
“Plak!”, untuk kali ini bukan tanganku yang mampu
menepis bola, tetapi mukaku satu-satunya menjadi korban keganasan tendangan
keras Diaz. Panas rasanya. Seketika itu pula mukaku menjadi merah padam.
Teman-temanpun mengerubungiku, menyaksikan tubuhku yang masih terkapar di beton
parkiran. Untuk beberapa saat memang mataku berkunang-kunang, kepalaku terasa
pusing. Kurang lebih setengah menit kemudian, aku terbangun. Sambil meringis
menahan panas mukaku kucari Diaz. “Anarkhis!”, hanya itu yang aku ucapkan pada
Diaz.
“Panas ya, mas…”, ucap Amad.
“Whoa…, balas dendam ceritanya. Ngece…”
“Makanya jangan sok jagoan.”, timpal Diaz.
“Afwan deh. Tadi khilaf.”
“Ya sudah. Kita istirahat dulu sebentar.”, Amad coba
menawarkan.
Kita pun beristirahat sejenak, kurang lebih selama
lima menit. Sampai suatu ketika, beberapa mobil terlihat berjalan ke arah kami.
Ups! Hari apa ini. Ya benar, sekarang hari kamis. Memang seperti yang pernah
kakakku katakan, tiap kamis sore minggu pertama ada pengajian ibu-ibu dan
remaja putri di masjid kampus. Kakakku Lina memang semenjak semester satu
menjadi aktivis masjid kampus.
Itu dia, berdiri di selasar sebelah utara masjid,
memakai kerudung dan baju terusan berwarna merah muda. Sesuai dengan kulitnya
yang coklat terang. Tak heran kalau banyak laki-laki, atau lebih tepatnya
mereka lebih senang disebut dengan ikhwan, yang menyukainya. Wajahnya yang
berbentuk oval dengan dagu meruncing dan hidung yang agak mancung merupakan
sebuah kombinasi yang sangat pas. Dalam hati aku berjanji, aku tak akan
segan-segan menghadang setiap laki-laki yang berani mengganggunya. Maklum, kami
hanya dua bersaudara.
“Waduh rek. Sore ini bakal ada pengajian, jadinya
parkiran bakal dipake. Pindah yuk.”, pintaku pada teman-teman.
Sekonyong-konyong kami membereskan lapangan dadakan kami.
Ah, mana lagi tempat kosong. Oh ya, lapangan basket
belakang fakultas psikologi. Semoga belum dipakai para mahasiswa bermain
basket. Alhamdulillah, masih kosong. Mekanisme standar pembuatan lapangan
dadakan mulai kami laksanakan. Sandal dan sepeda yang diparkir terbalik
tersusun sudah. Pertandingan dimulai. Untuk kali ini, keinginanku untuk jadi
penyerang terpenuhi.
Hup! Sebuah umpan terobosan yang sangat indah
disodorkan oleh Ipul. Kuteruskan dengan sebuah tendangan eksekusi khas ala
Joan. Tidak begitu keras, tetapi mengarah pada titik lemah kiper. Bola menerobos
selangkangan kaki Idham, yang kebetulan sore itu menjadi kiper lawan. Gol! Gol
pertamaku setelah dalam penantian selama satu minggu. Aku tak mandul lagi.
Gol itu menjadi gol terakhir dari permainan kami. Tak
lama kemudian satpam kampus mengusir kami dari lapangan itu. Nasib…, nasib….
Terpaksa kami pindah mencari tempat lain di luar kampus. Kami putuskan, akan
kami selesaikan permainan bola sore ini di jalan depan rumah Ipul. Biar sempit,
yang penting main bola jalan terus.
Akhirnya, gang depan rumah Ipul menjadi lapangan kami
juga. “Jbrak!”, “Jbruk!”, “Dhuang!”, menjadi suara yang sangat lazim didengar.
Hingga tanpa kami sadari sebuah motor melaju sangat kencang, menabrak sepeda
yang menjadi gawang dan kemudian menabrakku. Dhuar! Kemudian gelap…
**
Yang aku tahu saat ini, aku sudah berada di rumah
sakit. Berbaring di kasur dengan kaki sebelah kiri yang terbalut gips. Kata
kakak, kakiku sebelah kiri patah dan harus di gips. Untuk malam ini, kakakku
menemaniku di rumah sakit. Karena ibu dan ayah harus menemani nenek yang masih
shock di rumah. Kata ayah dan ibu, aku ini cucu kesayangan nenek, karena
perawakanku mirip kakek. Kulit coklat kehitaman mengkilat-kilat, rambut jabrik,
berhidung besar dan berwajah bundar mirip bola. Sampai-sampai nenek lebih memilih
tinggal dengan kita sekeluarga. He… he…
“Kak Lina…”
“Apa Dek?”
“Adek nyesel. Gak bakalan main bola lagi.”
“Nggak usah begitu. Yang penting sekarang kamu
istirahat saja. Sudah malam tuh.”
“Ibu pasti marah. Pasti deh besok-besok Adek gak boleh
main lagi.”
“Sudah, memang kamu itu sudah keturunan keranjingan
bola. Nggak jauh beda dengan Ayah. Ntar deh, Kakak bantuin ngomong ke Ibu biar
Adek boleh main bola lagi. Kalau perlu kalau sudah sembuh kakak beliin bola
yang asli, biar kalian kalau main bola nggak pakai bola plastik lagi.”
“Emang Kakak punya duit? Duit darimana?”
“Kakak kan ngajar les dan ngaji privat. Lumayan lah….
Kakak seneng kok Adek suka main bola. Yang penting jangan lupa sholat, ngaji
dan hapalan satu ayat tiap hari.”, Aku hanya bisa menjawabnya dengan senyuman.
“Kakak besok masih ujian kan?”
“Ah nggak papa. Ini, Kakak bawa catatan kuliah.”
“Kak, bawa radio kecil Adek nggak?”
“Bawa. Ada di tas Adek. Kakak ambilin sebentar ya…”.
Kakakku beranjak dari duduknya, menuju pojok kamar. Diambilnya radio kecil dari
tasku.
“Ini Dek.”
Kunyalakan radio kecil kesayanganku. Pelan-pelan
terdengar suara dari radio itu…
…
Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepakbola menjadi barang yang mahal
Milik mereka
Yang punya uang saja
Dan sementara kita di sini
Di jalan ini
…
Akupun beranjak tertidur, ditemani belaian lembut
kakakku satu-satunya. Ah, dunia terkadang tak adil bagi seorang anak kecil.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)